TUGAS UAS
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Di
Susun Oleh :
NAMA : AKHMAD KHOIRI
NPM : 1522010033
KELAS : C
DOSEN :
Prof. Dr. H. MARAGUSTAM SIREGAR, MA
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2015
SOAL NO 1.
Jelaskan pengertian
filsafat pendidikan itu? Kemudian
jelaskan perbedaan antara filsafat pendidikan Islam dan filsafat pendidikan
Barat dalam hal: 1. Proses belajar mengajar. 2. Konsep pendidikannya. Dan 3.
Tujuan akhir pendidikannya? Jawaban anda
dalam bentuk matrik.
Jawaban:
A. Pengertian Filsafat Pendidikan
Pendidikan Islam secara bahasa
adalah tarbiyah Islamiyah. Sedangkan secara terminologi ada beberapa istilah
tentang pendidikan Islam diantaranya : Pendidikan Agama Islam adalah upaya
sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan
ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Quran dan Hadits, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,
menyebutkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu adalah merupakan hasil
pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang berasal dari wahyu Ilahi,
sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil renungan (pemikiran)
yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang bersumber
dari wahyu memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung pada kondisi ruang
dan waktu. Sebaliknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat tergantung
kepada kondisi ruang dan waktu.
Kajian falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian
falsafat pendidikan yang termuat dalam al-Qur’an dan hadits yang telah
diterapkan oleh nabi Saw
baik selama
periode Makkah maupun selama periode Madinah. Falsafat pendidikan Islam yang
lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian
kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu
sesuai dengan tujuan ajaran Islam itu sendiri.
B. Perbedaan antara pendidikan Islam dan pendidikan
Barat dalam hal (1) Proses belajar mengajar, (2) Konsep pendidikannya, (3) Tujuan akhir
pendidikannya !
ASPEK ASPEK
|
PENDIDIKAN ISLAM
|
PENDIDIKAN BARAT
|
Proses Belajar Mengajar
|
Aktivitas
belajar-mengajar ialah amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada
Allah
|
Karena sekularistik materialistik, maka motif dan objek belajar-mengajar semata-mata masalah keduniaan
|
Konsep pendidikan
|
Islam
mengaitkannya dengan
pahala dan
dosa karena
kebajikan
dan akhlak mulia
merupakan
unsur pokok dalam
pendidikan
Islam.
|
Barat pada
umumnya tidak mengaitkan pendidikan dengan pahala dan dosa. Ilmu
itu bebas
nilai (values free).
|
Tujuan akhir pendidikan
|
Terwujudnya
insan kamil (manusia sempurna dan paripurna), yang pembentukannya selalu
dalam proses sepanjang hidup (has a beginning but not an end).
|
Hidup
sejahtera di dunia secara maksimal baik sebagai warga Negara maupun sebagai warga
masyarakat.
|
SOAL NO 2.
Bertolak dari Q.S Arrum:30 tentang
fitrah, Al-A’raf :172 dan al-Syams: 8, aliran filsafat pendidikan Islam tentang
konsep dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar terbagi kepada
empat. Dua diantaranya ialah (1) Positif-aktif, dan (2) Dualis-aktif. Pertanyaannya
adalah: jelaskan (1) Masing-masing karakteristik aliran tersebut, (2) Lengkapi
jawaban saudara dengan argumen masing-masing baik secara normative maupun
secara logika dan (3) Bagaimana dampaknya terdahadap aplikasi pendidikan Islam?
Jawaban:
A. Empat Aliran Filsafat Pendidikan
1.
Aliran yang
berpandangan fatalis-pasif yaitu: mempercayai bahwa setiap individu
karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah. Karakter positif
atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir
ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
2.
Aliran yang
berpandangan netral-pasif yaitu: anak
lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong. Manusia berpotensi untuk berkarakter baik dan
tidak baik itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua.
3.
Aliran yang berpandangan
positif-aktif yaitu: bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah
berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang membelenggu
manusia sehingga ia menjauh dari sifat bawaannya.
4.
Aliran dualis-aktif
yaitu: manusia memiliki dua sifat
ganda yang sama kuatnya, sifat baik dan buruk tergantung kedekatan manusia
terhadap lingkungan yang baik atau buruk.. Dasar pembentukan karakter adalah
nilai baik (disimbolkan sebagai nilai malaikat) atau buruk (disimbolkan sebagai
nilai setan). Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai
baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi
negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius
yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu
berupa nilai-nilai moral yang bersumber dari taghut (setan).
B. Dampak Empat
Aliran Filsafat dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam
Dalam
pendidikan Islam empat aliran tersebut
memberikan dampak yang baik, karena pendidikan karakter atau kepribadian,
memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang
melibatkan aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang
baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring the good
(merindukan kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting
the good (melakukan kebaikan). Materi pendidikannya tidak terbatas pada
hal-hal yang bersifat afektif, tetapi juga berkaitan dengan kognitif
dan psikomotor.
a.
Knowing the good: untuk membentuk
karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun
mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka
tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.
b.
Feeling the good: konsep ini
mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Disini
anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling
the good sudah tertanam, itu akan menjadi “mesin” atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang
untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
c.
Acting the good: pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa
melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan
ada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik
itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
SOAL NO 3.
Dalam penentuan nasib seorang sangat
tergantung kepada tiga hal yakni faktor heriditas, faktor lingkungan,
dan faktor kehendak bebas manusia atas pertolongan atau hidayah Allah. Jelaskan
masing masing faktor dan jelaskan pula hubungan masing-masing faktor sehingga
melahirkan sikap dan perbuatan !
Jawaban:
A. Faktor Heriditas
Hereditas merupakan kecenderungan alami cabang-cabang untuk meniru sumber mulanya
dalam komposisi fisik dan psikologi. Ahli hereditas lainnya
menggambarkan sebagai penyalinan cabang-cabang dari sumbernya. Islam sangat
memperhatikan faktor al-waritsah (hereditas)
ini dalam pembentukan kepribadian seseorang dan mengarahkannya kepada
hal yang positif,
seperti Allah melebihkan keturunan Nabi Ibrahim dan keturunan Imran diatas bumi ini karena hereditas yang baik
cenderung meniru dari generasi ke generasi (QS. Ali Imran [3]: 34).
Hadist tentang hereditas:
Artinya: Seleksilah
untuk air mani (istri) kamu sekalian. Karena sesungguhnya keturunan itu kuat
pengaruhnya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan, “ya Tuhanku, jangan engkau biarkan seorang
diantara orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi. sesungguhnya jika engkau
biarkan mereka tinggal, niscaya menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak
melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.
(QS. Nuh [71]:26-27).
Dari berbagai ayat al-Qur’an dan hadist tersebut memberi indikasi kuat bahwa faktor hereditas akan diwarisi/ditiru oleh
keturunannya. Ilmu yang membahas tentang hereditas telah menetapkan,
bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral (al-khalqiyah), kinestetik (al-jismiyah), maupun intelektual (al-aqliyah), sejak masa kelahirannya. Namun harus diakui pula tidak selama faktor hereditas
berjalan secara otomatis.
Hereditas pada individu berupa warisan
“specific genes” yang berasal dari kedua orang tuanya. “ genes” ini terhimpun didalam kromosom-kromosom
atau “colored bodies”. Kromosom- kromosom baik dari pihak ayah
ataupun dari pihak ibu berinteraksi membentuk pasangan-pasangan. Dua anggota
masing-masing pasangan memiliki bentuk dan fungsi yang sama. Pasangan kromosom
dimana dalam masing-masing kromosom terdapat sejumlah genes dan masing-masing genes memiliki sifat tertentu, membentuk
persenyawaan genes yang demikian
menjalin sifat-sifat genes.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pembawaan ialah potensi-potensi yang dibawa
setiap individu ketika ia lahir merupakan warisan dari orang tuanya.
Unsur-unsur
pembawaan yang berupa potensi-potensi fisik dan mental psikologis itu dalam
proses perkembangannya akan berfungsi sebagai faktor dasar atau faktor bahan
yang akan mempengaruhi proses perkembangan. Dalam setiap proses perkembangan
itu diperlukan bahan dasar sebab tanpa bahan dasar itu maka pertumbuhan fisik
atau perkembangan mental anak tidak akan terjadi. Tentunya makin baik potensi
kondisi pembawaan sebagai faktor dasar maka dapat diharapkan akan baik
pula perkembangan yang akan terjadi, dan sebaliknya.
Masing-masing individu lahir ke dunia dengan
satu heriditas tertentu. Ini berarti karakteristik individu diperoleh melalui
pewarisan atau pemindahan cairan-cairan “germina “ dari pihak
orang tuanya. Disamping itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari
lingkungannya, baik lingkuntgan pisis, psikologis, maupun lingkungan
sosial. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakan hasil
interaksi dari dari para heriditas dan lingkungan.
B.
Faktor Lingkungan
Lingkungan atau alam sekitar memiliki peranan penting dalam pendidikan islam.
Karena lingkungan merupakan elemen yang signifikan dalam pembentukan
personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam rangka umum
peradaban. Biasanya individu-individu dimasyarakat mengikuti kebiasaan yang ada
disekitarnya dengan sadar atau tidak sadar.
Dengan demikian, lingkungan dapat
diartikan secara fisiologis, secara psikologis, dan secara sosial-kultural.
Secara
fisiologis, lingkungan meliputi segala kondisi dan materiil jasmaniah di dalam
tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem saraf, peredaran
darah, pernafasan, pencernaan, makanan, kelenjar-kelenjar indoktrin, sel-sel
pertumbuhan dan kesehatan jasmani.
Secara
psikologis, lingkungan mencakup segenap stimulasi yang diterima oleh individu
mulai sejak zaman konsesi, kalahiran sampai matinya. Stimulasi ini misalnya
berupa: sifat-sifat”genes”, interaksi “genes”, selera, keinginan, perasaan,
tujuan-tujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi, dan kapasitas intelektual.
Sevara
sosio-kultural, lingkungan mencakup segenap stimulasi, interaksi dan kondisi
eksternaldalam hubunganya dalam perlakuan ataupun karya orang lain. Pola hidup
keluarga,pergaulan, kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, belajar,
pendidikan pengajaran, bimbingan dan penyuluhan, adalah termasuk sebagai
lingkungan ini.
Lingkungan sangat berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak.Lingkungan adalah keluarga yang mengasuh dan membesarkan
anak, sekolahtempat mendidik, masyarakat tempat anak bergaul juga bermain
sehari-hari dan keadaan alam sekitar dengan iklimnya, flora dan fauna.
Besar
kecilnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembanganya bergantung
kepada keadaan lingkungan anak itu sendiri serta jasmani dan rohaninya.
C. Faktor Kehendak bebas Manusia
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,1990) kebebasan yang berakar kata dari
bebas memiliki beberapa pengertian, seperti lepas sama sekali; lepas dari
tuntutan, kewajiban dan perasaan takut; tidak dikenakan hukuman; tidak terikat
atau terbatas oleh aturan-aturan dan merdeka.
Kata kebebasan dalam Islam
diungkapkan dengan dua istilah. Pertama, dengan
istilah hurriyah. Dalam al-Mausu’ah
al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi keislaman
dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu
sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun
moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan Pertama, kebebasan
internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang
berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan
berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat
adh-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat an-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat
al-adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah).
Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga: ath-thabi’iyah, yaitu
kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan
sesuatu sesuai apa yang ia lihat; as-siyasiyah, yaitu kebebasan yang
telah di berikan oleh peraturan perundang-undangan; ad-diniyah,
kemampuan atas keyakinan terhadap berbagai mazhab keagamaan.
Kedua, kebebasan diungkapkan dengan istilah ikhtiyar.
Ikhtiyar sebagaimana yang dipakai
dalam teologi Islam, tidaklah sama dengan ide modern mengenai kebebasan (dalam
arti freedom/liberty). Sebab, akar
kata ikhtiyar adalah khair atau baik, yang berarti memilih
sesuatu yang terbaik. Karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, maka
sebenarnya itu bukanlah pilihan, melainkan kezaliman. Memilih sesuatu yang
terbaik adalah kebebasan yang sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut
untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya, memilih
sesuatu yang buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari
aspek-aspek tercela nafsu hewani.
Agama Islam
mengajarkan bahwa manusia diciptakan Allah dengan dibekali kemampuan, bakat,
persiapan, persediaan energi dan ilmu. Semua karunia yang agung itu dapat
digunakan untuk menciptkan kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia, juga dapat
digunakan untuk menimbulkan keburukan dan kerusakan. Pada diri manusia terdapat
dua kekuatan yang saling berlawanan, kekuatan dan dorongan untuk berbuat baik
dan dorongan untuk berbuat jahat. Namun demikian dorongan untuk berbuat baik
senantiasa lebih dominan dari keinginan untuk berbuat keburukan. Setiap diri
manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, pengaruh lingkungan dan kecenderungan
yang ada pada dirinya serta usaha yang ia lakukan akan membuat seseorang
menjadi berguna bagi orang lain atau mencelakakan selamanya.
Dalam salah
satu sabdanya nabi menjelaskan tentang pembentukan watak pada diri seorang
manusia, bahwa manusia selain dibentuk oleh dirinya sendiri juga dibentuk oleh
lingkungannya dimana ia bergaul dan mengadakan interaksi sosial. “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah (termasuk
lingkungannya) yang membuat ia menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. (H.R.
Thabrani). Dalam keterangan yang lain disebutkan bahwa manusia dilahirkan dari
lingkungan bagaikan hasil tambang, emas atau perak. Apabila lingkungan
keluarganya baik seperti tambang emas maka ia akan melahirkan emas. Sebaliknya
apabila lingkungan keluarganya tidak begitu baik, diibaratkan seperti tambang
perak atau tembaga maka akan membentuk anak yang berkualitas seperti perak atau
tembaga. Nabi Jelaskan : “Manusia itu bagaikan barang tambang emas perak,
orang yang terbaik diantara mereka adalah yang terbaik di masa jahiliah dan
yang terbaik di masa Islam apabila mereka jenius”. (Mutafaq Alaih).
Allah SWT membekali
manusia dengan jiwa yang dapat digunakan untuk menyempurnakan dirinya, jiwa itu
semula diberikan kepada manusia dalam keadaan sama, rata, lurus, jujur, suci
dan bersih. Jiwa itu bisa menjadi kotor atau tetap dalam kesuciannya,
tergantung dari seseorang bagaimana ia menjaga dan memeliharanya.
“Demi jiwa
serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan
ketaqwaannya”. (Q.S. al-Syams : 7-8).
Dengan
potensi akal dan pikirannya manusia dapat membedakan antara yang baik dan buruk,
baik yang berhubungan dengan aqidah, kepercayaan, agama, juga yang berkaitan
dengan perbuatan dan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan potensi itu
pula manusia dapat mengatur hubungan dengan sesamanya dan hubungan dengan alam
sekitarnya, yang berkaitan dengan hubungan sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan, pertahanan dan sebagainya. Karena itu selama manusia masih memiliki
akal pikiran, ia pasti dapat membedakan yang terpuji dan tercela dan berbuat
apa saja yang ia sukai, juga mengetahui jalan mana yang akan ditempuhnya. Semua
itu tergambar jelas di depan mata hatinya, manusia memiliki kemerdekaan untuk
berkehendak dan mempunyai hak pilih dalam menentukan sikap dan perbuatannya.
Apabila ia memilih yang baik, kebaikan itu bagi dirinya sendiri dan jika
memilih yang buruk, maka keburukan itu akan menimpa dirinya pula.
Allah SWT
telah memberikan petunjuk kepada manusia jalan yang benar yang akan
mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Manusia yang
menerima petunjuk itu dengan patuh dan taat dan ada juga yang mengingkarinya. “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami
hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus ; ada yang bersyukur dan
adapula yang kafir”. (Q.S. al-Insan: 2-3). Berbahagialah mereka yang
mengikuti petunjuk-nya dan celakalah mereka yang mengingkari-Nya.
Manusia
diberikan Allah sesuatu kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, sesuai dengan
batas-batas yang ditentukan. “Siapa yang berbuat kebajikan maka kebajikan
itu untuk dirinya dan siapa yang berbuat kejahatan maka kejahatan itu akan
menimpa dirinya pula dan Tuhan sama sekali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S.
Fushshilat: 46).
Dengan adanya kehendak bebas manusia, akan mampu mengalahkan pengaruh
faktor al-waritsah dan lingkungan atas pertolongan Allah. Seperti anak Nabi
Nuh, yang bernama Kan’an, ia kafir terhadap risalah bapaknya, sekalipun Nabi
Nuh adalah manusia pilihan Allah dan menjadi rasul-Nya. (QS. Hud: 43).
D. Pengaruh hereditas, lingkungan dan kehendak bebas manusia dalam membentuk kepribadian
Dalam hubungan ini ada tiga
teori yang terkenal yang membahas masalah pengaruh hereditas (pembawaan)
dan lingkungan dalam perkembangan manusia.
Pertama, aliran atau
teori “nativisme” dengan tokoh utamanya adalah Schopenhauer dan tokoh
lainnya yang termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, Lombroso. Menurut
pendapat ini yang paling menyatakan bahwa perkembangan manusia itu sepenuhnya
dipengaruhi oleh faktor pembawaan atau faktor-faktor yang dibawa sejak lahir.
Para ahli
yang berpendirian nativis biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan
menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan
anak-anaknya. Misalnya kalau orang tuanya pemusik kemungkinan nanti anaknya
menjadi pemusik., kalau orang tuanya pelukis kemungkinan anaknya nanti akan
jadi pelukis,demikian juga kalau orang tuanya ahli matematika maka kemungkinan
anaknya jadi ahli matematika. Jadi kondisi keahlian dan kemampuan orang tuanya juga diwariskan ke anaknya.
Dengan
demikian faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa
berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam ilmu
pendidikan aliran ini dikenal sebagai aliran “Pedagogik Pesimisme”
yaitu pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh
penndidikan.
Kedua, aliran “empirisme”.
Paham empirisme ini tokoh utamanya adalah John Locke. Teori ini secara ekstrem
menekankan kepada pengaruh lingkungan. Menurut teori ini lingkunganlah yang
menjadi penentu perkembangan seseoarang. Baik buruknya perkembangan pribadi
seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan.
Jadi teori ini menganggap faktor pembawaan tidak berperan sama sekali terhadap
perkembangan manusia. Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang maha
kuasa dalam menentukan perkembangan pribadi seseorang. Oleh karena itu, dalam
ilmu pendidikan aliran ini disebut dengan aliran pendidikan “ Pedagogik
Optimisme” artinya pendidikan maha kuasa untuk membentuk atau mengembangkan
pribadi seseorang.
Permasalahanya adalah apakah pendidikan atau lingkungan dapat dengan sepenuhnya
mempengaruhi perkembangan anak. Sebagai contoh di dalam sebuah sekolah yang
sama, di kelas yang sama, dan guru yang sama, kita menemukan tingkat pemahaman
anak terhadap pelajaran itu berbeda-beda. Ada anak yang cepat paham, ada anak
yang lambat dalam pemahamannya, bahkan ada juga anak yang sulit sekali
dalam memahami pelajaran.
Hal ini menunjukan bahwa faktor
lingkungan bukan satu-satunya yang mempengaruhi dalam
perkembangan anak.
Ketiga, teori “konvergensi”
yaitu teori yang menjembatani atau menengahi kedua teori/paham sebelumnya
bersifat ekstrem yaitu teori nativisme dan teori empirisme.
Sesuai dengan namanya konvergensi yang artinya perpaduan, maka teori ini tidak
memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan
lingkungan tersebut dalam proses perkembangan. Pada teori ini baik unsur
pembawaan maupun unsur linkungan keduanya merupakan sama-sama faktor yang
dominan pengaruhnya bagi peerkembangan seseorang. Misalnya seseorang yang
berbakat musik tidak akan berkembang menjadi seorang ahli musik apabila tidak
ditunjang oleh lingkungan atau pendidikan yang memadai.
Teori yang ketiga inilah yang sampai sekarang masih teruji dan
dipertahankan kebenaran pendapatnya. Teori menggambarkan bagaimana hubungan
yang berimbang antara faktor warisan orang tua dengan lingkungan dalam
mempengaruhi perkembagan seseorang. Ada suatu keselarasan antara bakat dan
pendidikan. Sehebat apapun bakat seseorang tanpa adanya latihan tidak akan
berkembang, begitupun sebaliknya.
Islam telah mengenal aspek paling signifikan untuk memunculkan
reaksi-reaksi individu dalam mendapatkan berbagai kebiasaan dan moralitas.
Aspek ini adalah persahabatan yang merupakan unsur pendidikan paling kuat yang
mentransfer sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan individu. Menurut para
pakar sosiologi mengatakan, “kehidupan sosial ialah kehidupan kehidupan
pengaruh dan persepsi. Setiap individu mempengaruhi serta dipengaruhi
lingkungan sekitar.
Faktor kehendak bebas manusia atas
petolongan Allah merupakan faktor yang dibentuk karena ada pertolongan dari
Allah artinya manusia bisa menjadi baik dan tidak baik tergantung pada pertolongan
dari Allah, karena dengan kehendak bebas manusia dan kemampuannya sesuai dengan
batas-batas kemanusiaanya akan dapat mengalahkan dua faktor tersebut atas
pertolongan Allah (bi ma'unatillah). Apa yang diketahui oleh manusia tentang hukum-hukum alam (sunnatullah)
termasuk hereditas dan alam sifatnya tidak pasti, sesuatu yang bersifat
absolut dan pasti hanyalah kebenaran yang dating dari Allah.
SOAL NO 4.
Bagaimana hubungan
antara pendidikan nasional dan pendidikan Islam? Apakah hubungannya bersifat simbiosis
(saling membutuhkan) dan/atau integral (menyatu) atau sekuler (tidak ada
hubungannya). Jelaskan sesuai dengan pilihan anda. Jawaban saudara disertai
contoh-contoh dan didukung oleh wawancara dengan pakar pendidikan.
Jawaban:
Hubungan pendidikan Islam dan pendidikan Nasional tidak dapat
dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini
dikaitkan dengan konsep penyusunan sistem pendidikan nasional tersebut. Suatu
sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah eksistensi umat manusia
pada umumnya dan elcsistensi bangsa Indonesia khususnya dalam hubungan masa
lalu, masa kini dan kemungkinan perkembangan masa depan.
Pendidikan Islam dan pendidikan
nasional terdapat 3 segi yang dapat ditelusuri Pertama dari konsep penyusunan
sistem pendidikan nasional indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat
pendidikan islam dan kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia. Ketiga,
dari segi kedudukan pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam merupakan suatu
Lembaga sesuai dengan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990, No. 60 tahun 1999
dan No. 73 tahun 1991. Pendidikan keagamaan diselenggarakan pemerintah sesuai
peraturan perundang-undangan dimana Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat serta pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan
informal, pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman.
Pendidikan Islam juga Sebagai Mata
Pelajaran dimana jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan
pancasila, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Dalam pasal 3 isi
kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran
(PP 28 Bab. VII pasal 14 ayat 2) meliputi
- pendidikan
pancasila
- pendidikan
agama
- pendidikan
kewarganegaraan
- bahsa
indonesia
- membaca
dan menulis
- matematika
(termasuk berhitung)
- pengantar
sains dan teknologi
- ilmu
bumi
- kerajinan
tangan dan kesenian
- pendidikan
jasmani dan kesehatan
- menggambar
- bahasa
inggris
Pada PP 29 tahun 1990 Bab VIII pasal (15) ayat (2) isi
kurikulum pendidikan menengah wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran
tentang:
- pendidikan
pancasila
- pendidikan
agama
- pendidikan
kewarganegaraan
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 dicantumkan
tentang beberapa hal yang berkenaan dengan pendidikan agama. Pasal 37 (1):
kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
- pendidikan
agama
- pendidikan
kewarganegaraan
- pendidikan
bahasa
- matematika
- ilmu
pengetahuan alam
- ilmu
pengetahuan sosial
- seni
dan budaya
- pendidikan
jasmani dan olahraga
- keterampilan
/ kejuruan
- muatan
lokal
- Selain
itu kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
- pendidikan
agama
- pendidikan
kewarganegaraan
- bahasa
Ada beberapa pokok-pokok pikiran nilai-nilai yang
terkandung dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003, yaitu:
- pendidikan
nasional adalah pelaksanaan pembangaunan nasional dibidang pendidikan
- asas
dan dasar pendidikan berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945
- tujuan
pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik
- pendidikan
nasional bersifat demokratis dan humanis yakni memberikan kesempatan
kepada setiap negara untuk memperoleh pendidikan
- memberikan
kesempatan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik atau
mental
- menekankan
pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui pendidikan seumur hidup
- pendidikan
keagamaan merupakan satu jenis pendidikan yang khusus mengajarkan agama
tertentu.
Berdasarkan hal di atas dapat
dikatakan bahwa suatu sistem pendidikan nasional tidaklah berlaku umum.
Maksudnya adalah pola penyusunan sistem pendidikan nasional harus
berdasarkan keberadaan umat manusia dan latar belakang sejarah bangsa masa
lalu, sekarang dan masa depan.
Dalam laporan komisi pembaharuan
pendidikan nasional dikatakan bahwa pengembangan bangsa merupakan kriteria
dasar dalam membangun suatu sistem pendidikan nasional dengan mewujudkan
keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara pengembangan kwantitatif dan
pengembangan kwalitatif serta antara aspek lahiriah dan aspek rohaniah.
Dari keterangan tersebut dikatakan
bahwa penyusunan sistem pendidikan nasional harus berdasarkan dan pertimbangan
faktor bangsa dan masyarakat Indonesia serta aspek lahiriah dan rohaniah bangsa
Indoneisa, sebab bangsa Indonesia telah menjalani penindasan dan perjuangan
melawan penjajah, tentu dalam hal ini ada keterkaitan dengan masa awal
perkembangan dan pendidikan Islam di tanah air sampai sekarang ini.
SOAL NO 5.
Para filosuf sangat ketat membuat kriteria
seorang ‘alim/guru/pendidik/dosen dalam pendidikan islam. Paling tidak ada
empat argumen yang melatar belakanginya. Jelaskan empat alasan tersebut?
Jawaban:
Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru biasa disebut dengan
beberapa sebutan, diantaranya:
Ustadz, kata ini biasa digunakan untuk memanggil seorang profesor, hal ini
mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap
profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan profesional,
apabila pada dirinya terlihat sikap dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya, dan
selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya
sesuai dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi bahwa tugas mendidik adalah
tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hiduo pada zamannya di masa depan.
Mu’alim, kata ini berasal dari kata “’ilm” yang berarti menangkap hakikat
sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah. Ini
mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat
ilmu pengetahuan dimensi teoritis dan praktisnya dan berusaha membangkitkan
siswa untuk mengamalkanya. Allah mengutus
rasul-Nya antara lain agar beliau mengajarkan kandungan al-kitab dan
al-hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan
manfaat dan menjauhkan mudarat. Ini mengandung makna bahwa seorang guru
dituntut untuk mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al-hikmah atau
kebijakan dan kemahiran melaksanakan
ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya yang dapat mendatangkan manfaat.
Imam al-Ghazali
memiliki empat syarat utama bagi guru yakni cerdas, sempurna akalnya, baik
akhlaqnya dan kuat fisiknya. Selain keempat syarat utama ini, al-Ghazali menambahkan
delapan kriteria. Pertama, memiliki sifat kasih sayang. Kedua,
tidak menuntut upah atas ilmu yang diajarkannya (terkecuali untuk menutup
ongkos yang harus dia keluarkan, seperti transportasi, dsb). Ketiga,
bisa mengarahkan murid-muridnya. Keempat, menggunakan cara yang
simpatik. Kelima, bisa menjadi panutan. Keenam, memahami
kemampuan individu tiap murid yang bisa berbeda satu sama lain. Ketujuh,
memahami perkembangan jiwa murid-muridnya. Kedelapan, tidak melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diajarkan.
Senada dengan Imam
al-Ghazali, Ibn Jamaah, seorang ulama besar dari Mesir, memiliki enam kriteria
bagi guru yang baik. Kriteria pertama adalah menjaga akhlaq. Kedua, tidak
menjadikan profesi guru untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga, mengetahui
situasi yang terjadi pada lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Keempat, menunjukkan
kasih sayang dan kesabaran. Kelima, adil dalam memperlakukan anak didik.
Keenam, berupaya maksimal dalam menolong anak didiknya mencapai pemahaman yang
benar.
Demikian halnya
dengan Ibn Taimiyah. Beliau menetapkan empat syarat bagi guru. Pertama, guru
merupakan penerus nabi dalam menyampaikan ilmu-ilmu kebenaran. Oleh karenanya,
guru wajib senantiasa mencontoh perjalanan hidup dan akhlaq dari Rasulullah
Muhammad SAW. Kedua, guru harus bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya.
Ketiga, serius dan tidak sembrono dalam mengajar. Keempat, berusaha untuk terus
menambah keilmuannya.
Ibn Miskawaih bahkan
menempatkan posisi guru di atas orang tua lantaran keutamaan yang (seharusnya)
dimiliki seorang guru. Menurut beliau, seorang guru lebih banyak berperan dalam
mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, yakni
keridloan Allah SWT di dunia dan pahala di akhirat. Oleh karena itulah, seorang
guru sejati adalah yang bisa senantiasa menunjukkan kepribadian yang mencontoh
kepribadian nabi. Selain guru sejati, Ibn Miskawaih menetapkan pula kriteria
“guru biasa.” Guru biasa ini haruslah memenuhi persyaratan: (1) bisa dipercaya;
(2) pandai; (3) dicintai; (4) sejarah hidupnya tidak tercemar dalam masyarakat;
(5) bisa menjadi panutan; (6) akhlaqnya lebih mulia daripada murid-muridnya.
Ketatnya kriteria guru oleh
filosof muslim adalah disebabkan karena :
1. Guru
adalah pewaris para nabi.
Al-Ghazali dalam
bukunya Ihya ’Ulumuddin menempatkan pendidik pada kedudukan yang amat tinggi,
kedudukan langsung setelah para nabi. Hadis Nabi Muhammad saw. al-ulama wa
ratsah al-anbiyaa (ulama adalah pewaris nabi), ulama dalam ungkapan hadis
tersebut termasuk para pendidik, karena pendidik juga menyampaikan risalah nabi
Muhammad saw.
2. Kedudukan
guru amat tinggi dalam Islam
Orang yang berilmu
atau ‘aalim, menurut Ahmad Tafsir (2002: 76), merupakan realisasi ajaran Islam
itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan; pengetahuan didapat dan diperoleh
dari proses pembelajaran, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah
guru.
Ahmad Tafsir lebih
jauh menjelaskan umat Islam amat menghargai pendidik, disebabkan oleh pandangan
bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber pada Tuhan. Ilmu datang dari
Tuhan; guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit tidak boleh
tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah
dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi
dalam Islam.
3. Guru
mengemban misi penting menanamkan aqidah tauhid
Sebagai pendidik dan
Rasul, misi kependidikan pertama Muhammad saw adalah menanamkan aqidah yang
benar yakni aqidah tauhid. Ketika Nabi Muhammad di Mekkah, misi utama beliau
adalah membangun masyarakat yang bertauhid, meletakkan dasar-dasar fundamental
bagi pembentukan nucleus masyarakat yang viable untuk menjawab tantangan zaman.
Ketika Nabi di Medinah, beliau melaksanakan fungsi sebagai pendidik utama dalam
pembangunan masyarakat sosial politik, masyarakat politik-keagamaan Islam
Madinah. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. sendiri mengidentifikasikan pesan
dakwahnya sebagai pendidik atau pengajar (mu’allim). (Azyumardi Azra, 2000:
55-56) Oleh karena itu guru juga tentunya mengemban misi penting
tersebut.
4. Guru
menempati posisi yang kuat dalam membentuk pribadi peseta didik
Al-Hasyimi (2001:
166) mengibaratkan bahwa pendidik merupakan faktor yang asasi dalam hidup
manusia dan ia menempati posisi yang kuat dengan pengaruhnya dalam membentuk
pribadi individu, di mana pengaruh-pengaruhnya itu berkelanjutan sepanjang
hidupnya. Keberadaan pendidik sebagai yang asasi dalam hidup manusia, karena ia
dapat membantu peserta didik atas perkembangan dari makhluk hidup yang berjisim
saja menuju manusia yang memiliki kepribadian sebagaimana juga akan membantunya
atas pertumbuhan yang sempurna sebagai manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakran, Hamdan, Prophetic
Intelligence, 2007: 648
Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan
Islam: Konsep dan Perkembangan pemikirannya;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Dalyono M., Psikologi Pendidikan (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007)
Siregar
Maragustam, “Pemikiran Al-Zarnuji
dalam Kitab Ta’li Al-Muta’allim tentang Pendidikan Islam (Telaah dalam
Perpektif Filsafat Pendidikan)”
http://maragustamsiregar.wordpress.com/ 8 Juni 2010
--------------------------, Mencetak Pembelajar
Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha
Litera. 2010
Jalaludin & Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan pemikirannya; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994. Hal. 3-4.
Maragustam
Siregar. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010. Hlm. 126-127