MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
MANAJEMEN
PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
Di
Susun Oleh :
NAMA : AKHMAD KHOIRI
NPM : 1522010033
KELAS : C
DOSEN :
Dr. Hj. Siti Patimah, S.Ag., M.Pd.
Dr. H. Subandi, MM.
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulilah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Kasih-Nya tiada batas dan sayang-Nya melimpah kepada
hamba-Nya. Atas rahmat dan pertolongan Allah swt, kami mampu menyelesaikan
penulisan makalah tentang “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah”.
Makalah ini ditulis dengan maksud
sebagai bahan presentasi mata kuliah Manajemen Pendidikan Islam, dan menjadikan
penambahan wawasan sekaligus pemahaman terhadap Manajemen Pendidikan Islam.
Harapan kami, semoga setelah penulisan makalah ini selesai kami semakin
memahami tentang Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran, kritik,
serta bimbingan dari para dosen demi penyempurnaan di masa-masa yang akan
datang, semoga makalah ini bermanfaat bagi kami. Akhirnya saya mohon maaf atas
segala kekurangan.
Waalaikum salam
warahmatullahi wabarakatuh.
Bandar
Lampung, Januari 2016
Abstrak
Manajemen penjaminan mutu sekolah penting
diterapkan di sekolah karena dengan adanya manajemen ini,
diharapkan kualitas guru semakin meningkat.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka lembaga
pendidikan membutuhkan suatu manajemen yang dapat
mengatur bagaimana agar sekolah dalam manajemen
penjaminan mutu dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) manajemen penjaminan
mutu di sekolah; (2) perencanaan mutu guru; (3)
pengendalian mutu guru; dan (4) perbaikan mutu guru.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dan jenis penelitian ini bersifat deskriftif. Instrumen
kunci adalah peneliti sendiri dan subyek penelitian adalah Ketua Unit penjamin
mutu (UPM), anggota Unit penjamin mutu (anggota UPM), waka kurikulum dan guru.
Data diperoleh melalui wawancara. Data yang telah didapatkan
dianalisis selama pengumpulan data, kemudian
diklasifikasikan, disaring dan ditarik sebuah
kesimpulan.
Kata kunci : Implementasi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha
telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui
pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun
demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang
berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu
pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih
memprihatinkan.
Fenomena di atas diantaranya
disebabkan, pertama: Karena selama ini penyelenggaraan pendidikan terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang
memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat
menentukan output pendidikan. Kedua: penyelenggaran pendidikan nasional
dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai
penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi dan
kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah
setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga
mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan
sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Ketiga: peran serta
warga sekolah khususnya guru dan peran serta
masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama
ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering
diabaikan, partisipasi
masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana. Sekolah
tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksananaan
pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah
satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholder).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu
saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan
reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu
berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Maka dari
itu penulis merasa tertarik untuk mengangkat makalah yang berjudul “Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah”
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan manajemen ?
2. Apakah
yang dimaksud dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ?
3. Bagaimanakah
landasan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ?
4. Apa
sajakah komponen manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ?
C. Metode penelitian
Seperti
halnya
suatu tujuan pasti memerlukan cara untuk dapat sampai kearah yang dituju.
Begitu juga dalam penulisan proposal ini, tujuanya agar lebih mudah dalam penulisan dan
juga agar penulisannya dapat berjalan secara sistematis dan teratur.
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah metode kualitatif.
Penelitian kualitatif yaitu “penelitian yang memiliki karakteristik
lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau
gambar, sehingga tidak menekankan pada angka-angka”.[1]
a.
Jenis
penelitian
Penelitian
secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu penelitian pustaka
dan penelitian lapangan. Dilihat dari jenisnya penelitian ini termasuk jenis
penelitian pustaka (library risearch), maka kajian ini disebut kajian pustaka yang
bersifat deskriptif yaitu”penggambaran berbagai teori atau masalah
secara urut dan terperinci yang terkait dengan judul pembahasan penelitian
kepustakaan ini juga disebut dengan kajian pustaka atau kajian literatur”.
b.
Sifat
Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan adalah
bersifat deskriptitif, yaitu penelitian yang menggambarkan suatu kesan
panca indra tentang sebuah obyek untuk mengambil kesimpulan atau penelitian
yang menuturkan dan mentafsirkan data yang berkaitan dengan fakta, keadaan,
variabel, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan
apa adanya.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manajemen
Secara
sederhana manajemen adalah sebuah perencanaan, pengelolaan dan pengawasan dalam
suatu kegiatan pada sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang telah di
tetapkan. Dalam
memberikan defenisi tentang manajemen, para ahli mengemukakan beberapa pendapat
antara lain :
Hesrey Dan Blanchar (dalam Syafruddin) mengemukakan manajemen adalah proses
kerjasama antara individu dan kelompok serta sumber daya lainnya dalam mencapai
tujuan organisasi sebagai aktivitas manajemen. Dengan kata lain, aktivitas
manajerial hanya ditemukan dalam wadah sebuah organisasi, baik organisasi
bisnis, pemerintahan, sekolah, industri, rumah sakit dan lain-lain.[3]
Terry mengemukakan manajemen adalah kemampuan mengarahkan dan mencapai
hasil yang diinginkan dengan tujuan dari usaha-usaha manusia dan sumber daya
lainnya.[4]
Ramayulis menyatakan bahwa manajemen merupakan terjemahan
secara langsung dari kata management yang berarti pengelolaan,
ketatalaksanaan, atau tata pimpinan. Management berakar dari kata kerja
to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, atau mengelola.[5] Manajemen
atau pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari
proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen tidak mungkin
tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif dan efisien. Konsep
tersebut berlaku di sekolah yang melakukan manajemen yang efektif dan efisien.
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya praktek pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan, oleh karena itu sekolah perlu mendapatkan perhatian khusus
untuk dapat melaksanakan manajemen yang sebaik-baiknya. Hendaknya sekolah
diberikan wewenang penuh untuk mengatur manajemen pendidikan, merencanakan,
mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur serta memimpin
sumber-sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu melaksanakan
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah.
Manajemen adalah ilmu dan
seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya
secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.[6] Manjemen merupakan alat terpenting untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manajemen yang
baik akan memudahkan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dengan manajemen, daya guna dan hasil
guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan.[7]
Selain itu, manajemen merupakan suatu cara meningkatkan performansi secara
terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area
fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia
dan modal yang tersedia.[8]
Gulick (1965), ahli administrasi
public Amerika, mengemukakan bahwa manajemen menjadi suatu ilmu jika
teori-teorinya mampu menuntun manajer dengan kejelasan apa yang harus dilakukan
pada situasi tertentu memungkinkan mereka meramalkan akibat-akibat dari
tindakannya. Dalam
perjalanannya sebagai suatu manajemen diuji dengan pengalaman. Robert Owen
(1800-1828), seorang pionir manajemen personalia modern terkemuka, mengatakan
bahwa manajemen perusahaan yang baik menguntungkan bagi sang majikan dan
merupakan bagian pokok dari setiap pekerjaan manajer.[9]
Dari uraian di atas menjelaskan
bahwa di dalam sebuah organisasi apapun itu pasti membutuhkan manajemen yang
baik dalam mengatur organisasi yang dikembangkan oleh suatu perusahaan atau
lembaga kecil maupun lembaga besar, formal maupun non formal, guna mencapai
tujuan yang diinginkan. Manajemen pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu memainkan peranan yang
amat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan.
Manajemen sistem pendidikan amat penting karena
proses penataan sumber daya pendidikan (pengelolaan
tenaga kependidikan, kurikulum dan pembelejaran, keuangan, sarana dan
prasarana pendidikan, serta keterlibatan
secara terpadu antara pemerintah, sekolah dan masyarakat) perlu dimenej
secara professional.
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan
secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan
baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Mulai dari urusan
terkecil seperti mengatur urusan rumah
tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah negara.
Semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai
sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai
secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang,
dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan
dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs),
jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Aliyah (MA), dan pada
jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi,
Institut, dan Universitas.
Pada jalur
pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA),
Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal
seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau
manajemen yang sebaik-baiknya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib:
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
”Kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan
dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.
Artinya
seluruh sumber daya pendidikan Islam yang ada, tidak akan berpengaruh dalam
pembangunan SDM yang bermutu, apabila manajemen pendidikannya lemah. Dengan
demikian, manajemen pendidikan yang professional merupakan salah satu kunci
penting dalam membangun sistem pendidikan Nasional. Allah berfirman dalam surat
as-Sajdah ayat 5 sebagai berikut:
يُدَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi,
kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah
seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas, dapatlah diketahui
bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini
merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena
manusia yang diciptakan Allah swt telah dijadikan sebagai khalifah di bumi,
maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana
Allah mengatur alam raya ini.
B.
Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan alternatif
baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan
kreativitas sekolah.[10]
Konsep ini diperkenalkan
oleh teori efektif school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses
pendidikan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen
ini antara lain sebagai berikut : (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
(ii) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah
memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personil
sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk
berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai
tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap
berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk
penyempurnaan/ perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan
intensif dari orang tua murid/masyarakat.[11]
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari school based
management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. Manajemen
berbasis sekolah adalah pengkoordinasian dan penye-rasian sumber daya yang dilakukan secara otonomi oleh
sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk men-capai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibat-kan semua kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan.
Manajemen
berbasis sekolah adalah model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada
sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
partisipasif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa,
dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.[12]
Yang penulis maksud dengan MBS adalah sebuah kebijakan pemerintah untuk
memberikan wewenang kepada pihak sekolah untuk mengelolah sumber daya sendiri
sesuai dengan kebutuhan sekolah yang bersangkutan.
MBS
merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan
kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan
pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah[13]
Zainal Ruma
mengutip pendapat David, 1989 (dalam Slamet,
2001:28) merumuskan, manajemen berbasis sekolah adalah otonomi manajemen
sekolah ditambah pengambilan keputusan partisipasif. Otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan/keman-dirian yaitu kemandirian mengatur dan mengurus diri
sendiri, dan merdeka-tidak tergantung (UU No. 22 Tahun 1999). Oleh karena itu,
otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur, mengurus kepentingan
warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Adanya kewenangan atau kemandirian sekolah, maka sekolah harus memiliki
kemampuan antara lain; (1) kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, (2)
kemampuan ber-demokrasi/menghargai perbedaan pen-dapat, (3) kemampuan
memobilitas sumber daya, (4)
kemampuan cara memilih pelaksanaan yang terbaik, (5) kemampuan berkomunikasi
yang efektif, (6) kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, (7)
kemampuan adaftatif dan atisipatif, (8) kemampuan bersinergi dan berkolabosari,
dan (9) kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.[14]
Untuk
mencapai tingkat mutu sekolah, maka sekolah harus memiliki kemandirian, dan
mampu memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan yang ada
pada-nya. Slamet (2000) memberikan
contoh-contoh tentang hal-hal yang dapat memberdayakan warga sekolah yaitu; (1)
pemberian tanggung jawab, (2) pekerjaan yang bermakna, (3) memecah-kan masalah
pekerjaan secara “team work”, (4) variasi tugas, (5) hasil kerja yang
terukur, (6) kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, (7) tantangan, (8)
kepercayaan, (9) didengar, (10) ada pujian, (11) menghargai ide-ide, (12)
mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, (13) kontrol yang
luwes, (14) dukungan, (15) komunikasi yang efektif, (16) umpan balik bagus,
(17) sumber daya yang dibutuhkan ada, (18) dan warga sekolah diberlakukan
sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tinggi.
Berdasarkan
kemandirian dan kemampuan yang dimiliki sekolah, maka sekolah dapat diharapkan
sebagai berikut; (1) mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi
dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya, sehingga dia dapat
mengoftimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya, (2)
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan peserta didik, (3) bertanggungjawab terhadap mutu
pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan
masyarakat pada umumnya, sehingga dia aka berupaya semaksimal mungkin untuk
melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan, dan
(4) dapat melaksanakan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang
tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.[15]
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai
hasil dari desentralisasi pendidikan. MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah
dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta
manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS dimaksudkan untuk
meningkatkan otonomi sekolah, jauh dari itu MBS juga berorientasi pada
peningkatan mutu pendidikan yang dapat menentukan sendiri apa yang perlu
diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk merenovasi. MBS juga
memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, dan
administrator yang profesional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat
responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah.
Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang
tua dan masyarakat.
Jadi Secara
umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan participative yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dari
defenisi-defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah
adalah suatu pendekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi
pendidikan yang memberikan wewenang yang lebih luas kepada sekolah untuk
mengambil keputusan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan yang didukung
dengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orang tua siswa dan masyarakat), jadi indikator keberhasilan MBS yang
harus dapat di ukur dan dirasakan oleh para stakeholders pendidikan
adalah adanya peningkatan mutu pendidikan di sekolah termasuk mutu pendidikan
agama Islam.
Peningkatan
mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan managerial para kepala
sekolah. Sekolah perlu berkembang maju dari tahun ke tahun. Karena itu, hubungan baik antarguru perlu
diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen
sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan pendidikan yang dapat
menumbuhkan kreativitas, disiplin, dan semangat belajar peserta didik. Dalam
kerangka inilah dirasakan perlunya implementasi MBS.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) penerapan
MPMBS di sekolah itu melalui:
a.
Penyusunan data dan profil sekolah yang komprehensif , akurat, valid, dan
sistematis.
b.
Melakukan evaluasi diri, menganalisis kelemahan dan kekuatan seluruh
komponen sekolah.
c.
Mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi misi dan tujuan dalam
rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi
diri.
d.
Menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi
misi dan tujuan yang telah dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan
mutu pendidikan.
e.
Mengimplementasikan program kerja.
f.
Melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang
diimplementasikan; dan
Menurut Indah
Imroatul Fauziyah dalam makalahnya yang berjudul “Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah” (2012) menyatakan bahwa MBS
memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan
adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan
pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, MBS mempunyai
kelebihan, yaitu:
a. Memungkinkan
orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh anggota
sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas
dalam merancang bangun program pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya
yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran
yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan
sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f. Meningkatkan motivasi guru dan
mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Dengan
kelebihan-kelebihan di atas tentunya memajemen ini juga mempunyai sisi
kelemahan dalam pelaksanaannya, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Penerapan MBS juga mengalami
masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote
areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena
masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya
menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam
beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun
kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada
sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima
semua itu.
b.
Penerapan MBS di sekolah di banyak
negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang
memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah
yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen
modern (demokratis, transparan, dan akuntabel).
c.
Sikap mental para pengelola
pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak
karena “perintah” atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin
sebaliknya, terkadang tidak
memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan
wewenang.
d.
Kepala sekolahnya masih cenderung
manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya kemandirian
sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik. Birokratik,
formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang demikian
ini tidak memberdayakan potensi sekolah.
e.
Dalam manajemen mutu pendidikan
adalah terkadang tidak adanya
tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan
dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya
pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.
Berdasarkan
hasil analisis, maka dapat dikemukakan bahwa indikator input sekolah dalam
penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah dinilai “baik dalam meningkatkan mutu pendidikan“. Tercapainya
mutu pendidikan di sekolah, sangat ditentukan oleh sumber daya manusia termasuk
kepala sekolah berperan penting dalam
upaya mening-katkan mutu pendidikan dengan menerapkan manajemen pendidikan
berbasis sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah
merupakan faktor penting dalam meningkatkan mutu luarannya. Menurut
Poernomosidi Hadjisaroso (1997), mengemukakan bahwa ada lima input manajemen
yang perlu dilaku-kakan oleh kepala sekolah, yaitu (1) pemberian tugas yang
jelas kepada bawahannya, (2) menyusun rencana kegiatan termasuk rencana
pengem-bangan sekolah, (3) menyusun program kegiatan-kegiatan menurut jadwal
waktu, (4) limitasi, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang perlu diikuti oleh
semua warga sekolah agar pengembangan sekolah berjalan lancar untuk mencapai
tujuannya, (5) pengen-dalian dalam wujud tindakan turun tangan agar tujuan,
sasaran sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Berdasarkan
hasil analisis data, output dapat diklasifikasikan
cukup mampu meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kualitas luaran (lulusan), maka perlu dilakukan upaya terus menerus agar hasil
luaran sekolah (kualitas peserta didik) dapat lebih meningkat dari tahun ke
tahun. Output sekolah kadang kala menunjukkan garis trend naik turun. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan, maka kinerja sekolah harus diperbaiki. Prestasi
yang dihasilkan sekolah dapat diukur dari nilai kemampuan akademik dan non
akademiknya. Apabila kualitas luaran rendah, hal itu menunjukkan rendahnya mutu
pendidikan. Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang
atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
ditentukan atau yang tersirat. Mutu suatu barang atau jasa dipengaruhi oleh
banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan seperti desain, operasi produk
atau jasa pemeliharaannya.
Kemampuan
sekolah dalam mencapai prestasi yang dihasilkan seperti nilai Ujian
Nasional yang diperoleh siswa rata-rata
tinggi dan lulusan yang masuk UMPTN
meningkat tiap tahun adalah
merupakan tolok ukur kinerja
sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektifitasnya, kualitasnya,
produktifitasnya, efisiensinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya
(Slamet, 2002).
Output sekolah
yang diharapkan adalah apabila pencapaian yang tinggi dalam hasil tes kemampuan
akademik dan non akademik. Untuk mencapai output sekolah, maka sekolah harus
memiliki kebijakan mutu, memiliki visi, misi, tujuan, dan sasaran yang jelas.
Sekolah yang menginginkan mutu, maka harus pula mempunyai komitmen prestasi
yang tinggi terutama komitmen kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Semua
kegiatan sekolah harus difokuskan pada peserta didik guna peningkatan mutu dan
kepuasan peserta didik (siswa).
Manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan upaya sekolah untuk melakukan
pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dimiliki secara otonomi.
Kemandirian yang dimiliki, mempunyai kewenangan untuk melibatkan seluruh pihak
yang berkepentingan terhadap pendidikan meliputi kepala sekolah, guru, siswa,
tata usaha, orang tua siswa, pemerintah dan masyarakat, dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Sekolah mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan yang terbaik
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Pengambilan keputusan partisipatif
merupakan ciri yang esensial dalam proses pelaksanaan pendidikan sekolah. Di
dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, maka sekolah mempunyai
kewenangan besar dalam mengelola sekolahnya dan pengambilan keputusan
partisipatif. David (dalam Slamet, 2001:28) merumuskan, manajemen berbasis
sekolah adalah otonomi manajemen sekolah ditambah dengan pengembilan keputusan
partisipatif. Dalam UU No. 22 tahun 1999, dijelaskan bahwa otonomi dapat
diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu meng-atur dan mengurus diri
sendiri, dan merdeka atau tidak tergantung.
Oleh karena
itu, sekolah mempunyai ke-wenangan untuk mengatur, mengurus kepentingan warga
sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai
dengan aturan yang berlaku. Otonomi sekolah
dapat mencapai peningkatan mutu pen-didikan termasuk upaya penerapan
manajemen pendidikan berbasis sekolah
dalam meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan, telah berupaya semaksimal mungkin, hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang menun-jukkan penerapan manajemen pendidikan
berbasis sekolah secara signifikan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai program yang telah dilakukan
khususnya program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Program ini
dilakukan secara komperehensif, yang mencakup tiga faktor yaitu; 1) nilai
masukan sekolah (input sekolah) yang meliputi komponen akademik dan non
akademik, 2) nilai proses meliputi peran kepala sekolah, guru, tata usaha, dan
3) nilai keluaran yaitu hasil yang dicapai sekolah baik komponen akademik
maupun komponen non akademik.
Penerapan
manajemen pendidikan berbasis sekolah, mampu meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil akreditasi
yang telah didapatkan dan output yang mampu bersain dalam UMPTN yang tidak
mengecewakan maka hal ini dapat mempersepsikan penerapan manajemen pendidikan
berbasis sekolah “mampu meningkatkan mutu pendidikan”.
Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah,
sangat signifikan pengaruhnya dalam meningkatkan
mutu pendidikan. Karena semakin tinggi
tingkat persentase pendapat responden, maka semakin signifikan pengaruhnya terhadap mutu pendidikan.
C.
Landasan Filosofis
MBS
Landasan MBS Menurut Drs. Nurkolis,
MM dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah:
Landasan filosofis MBS adalah cara
hidup masyarakat. Maksudnya jika ingin reformasi pendidikan itu sukses maka
reformasi tersebut harus berakar pada cara dan kebiasaan hidup warganya.
Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan kebiasaan warganya maka
reformasi tersebut akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa dalam
konteks idiil negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan
menurut praktisnya merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Tanggungjawab tersebut, dilandasi oleh peran secara
profesional.
Artinya, pelayanan pendidakan tidak
dapat dihindarkan dari batas-batas tanggungjawab mengingat masing-masing
mempunyai posisi dan keterbatasan. Keluarga dalam arti biologis merupakan orang
tua langsung (ibu dan bapak), mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan
pendidikan kepada anak-anaknya dirumah, dari mulai hal yang bersifat sederhana
dan pribadi sampai pada hal yang komplek dan bermasyarakat. Tugas dan wewenang
ini, bersifat alamiah dan mendasar untuk membangun individu yang bertanggung
jawab. Akan tetapi sebagai orang tua, terdapat berbagai keterbatasan dalam
pelayanan pendidikan yang bersifat normatif dan terukur, baik yang bersifat
keilmuan maupun keterampilan tertentu. Oleh sebab orang tua tidak dapat
melayani kebutuhan pendidikan anak nya, maka orang tua mempercayakan kepada
sekolah baik yang diselenggarakan oleh masyarakat (yayasan pendidikan) maupun
pemerintah.
Konsekuensinya orang tua wajib
memberikan dukungan kepada sekolah sesuai dengan batas kemampuan dan
kesepakatan. Oleh sebab itu tujuan penyelanggaraan pelayanan pendidikan hanya
bisa dicapai apabila terjadinya sinergi dan integrasi dukungan dari berbagai
sumber daya, untuk terjadinya sinergi dan integrasi dukungan dari berbagai
sumber daya pendidikan, perlu adanya suatu badan yang bersifat independen
dengan asas keadilan dan kemanusiaan. Landasan MBS Menurut Modul UT:
a. Landasan yang Bersifat Filosofis
§ Nilai-nilai
kebersamaan yang bersumber dari nilai sosial budaya yang terdapat di lingkungan
keluarga dan masyarakat serta pada pendidikan agama.
§ Kesepakatan
atas pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain maka segala
bentuk perubahan harus melibatkan masyarakat setempat agar semuanya lancar sesuai
harapan.
b. Landasan yang Berdasarkan Hukum atau Peraturan
Perundangan
Ø UU No 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Ø UU Sisdiknas
No 2 tahun 1989 Pasal 25 ayat 1 butir 1 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah: Kepmendiknas No
044/U/2002. PP No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Dari beberapa pendapat tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa landasan MBS adalah sebagai berikut: (1) Landasan
Filosofis, melibatkan semua pihak secara optimal yaitu keluarga, masyarakat,
dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. (2) Landasan Yuridis atau
Undang- Undang; (a) UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional,
pasal 51 ayat 1 “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah”, (b) UU no 25
tahun 2000 tentang program pembangunan nasional tahun 2000-2004 pada bab VII
tentang bagian program pembangunan bidang pendidikan khususnya sasaran
terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat, (c)
Keputusan Mendiknas nomor 044 tahun 2002 tentang pembentukan dewan pendidikan
dan komite sekolah, (d) Kepmendiknas nomor 087 tahun 2004 tentang standar
akreditasi sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis sekolah, (e) Peraturan
Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, khususnya
standar pengelolaan sekolah yaitu manajemen berbasis sekolah, (f) UU Sisdiknas
No 2 tahun 1989 Pasal 25 ayat 1 butir 1 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Sejak diberlakukannya otonomi
daerah, tampaknya sangat berpengaruh terhadap penyelanggaraan tatanan
pemerintahan termasuk dalam pelayanan pendidikan yang dikenal dengan pendekatan
ke arah desentralisasi. Secar, politis, kebijakan desentralisasi ini dimulai
pada januari 2001, diawali dengan pelimpahan sebagian besar kewenangan
pemerintah kepada pemerintah daerah kebupaten dan kota yang membawa konsekuensi
adanya restrukturisasi kelembagaan pemerintahan, termasuk di bidang pendidikan.
Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mendorong meningkatkan pelayanan
dibidang pendidikan kepada masyarakat, yang bermuara pada upaya peningkatan
kualitas pengelolaan pendidikan dalam tataran yang paling bawah (at the bottom)
yaitu sekolah melalui penerapan manajemen berbasis sekolah.
MBS sebagai suatu model
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan merupakan suatu konsep
inovatif, yang bukan hanya dikaji sebagai wacana baru dalam pengelolaan
pendidikan tetapi sebaiknya juga dipertimbangkan sebagai langkah inovatif dan
strategi ke arah peningkatan pendidikan melalui pendekatan manajemen yang
bercirikan “akar rumput”.
Salah satu wujud konkrit dari
konteks ini adalah adanya keterlibatan stakeholders dalam membantu peningkatan
pemerataan, relavansi, kualitas efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan
pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya
jalur sekolah, diatur dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional: PP. No. 39 tahun 1992 tentang peran serta masyrakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan UU No. 22 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional.
Pertimbangan yang dikemukakan
diatas, dapat dijadikan rambu-rambu dalam memposisikan Dewan Pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan di daerah. Dengan demikian posisi dewan pendidikan
dan dinas pendidikan mengacu pada wewenang (otonomi), yang mengarah kepada
landasan hukum yang berlaku pada setiap daerah.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
bagian ketiga, pasal 56, mengisyaratkan bahwa :
i.
Masyarakat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah.
-
Dewan pendidikan sebagai lembaga
mendiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu, dukungan, dan pengawasan
pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota yang tidak
mempunyai hubungan hieraksis.
-
Komite sekolah sebagai lembaga
mandiri, dibentuk untuk memberikan arahan, dukungan dan pengawasan pada tingkat
satuan pendidikan.
-
Ketentuan mengenai pembentukan dewan
pendidikan dan komite sekolah sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
D.
Komponen-komponen
Manajemen Sekolah
E. Mulyasa mengatakan bahwa
yang termasuk komponen-komponen manajemen sekolah adalah :[17]
Kurikulum
merupakan bagian dari MBS. Kurikulum mencakup kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum
nasional pada umumnya telah di lakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada
tingkat pusat. Manajemen kurikulum meliputi tiga
kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang
berhubungan dengan tugas guru peserta didik dan seluruh sivitas
akademika atau warga sekolah. Kegiatan
yang berhubungan dengan tugas guru. Kegiatan ini meliputi :
1) Pembagian tugas guru
yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan
ketentuan tentang beban mengajar wajib bagi guru. Beban tugas maksimum seorang
guru 24 jam perminggu.
2) Tugas guru dalam
mengikuti jadwal pelajaran, jadwal tugas guru ada
tiga, yaitu :
a) Jadwal
pelajaran kurikuler dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
akademik seperti :
- Keseimbangan
berat ringan bobot pelajaran tiap hari
- Pengaturan
mata pelajaran mana yang perlu didahulukan / di tengah / akhir pelajaran.
- Mata
pelajaran bersifat praktikum / PKL /PPL
b) Jadwal
pelajaran non kurikuler, disusun sesuai
situasi dan kondisi individual/kelompok peserta didik.
c) Jadwal
pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam
pelajaran kurikuler dan program kurikuler,
biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi,
bakat, minat, serta prestasi seperti, seni
tari, musik, pecinta alam, palang merah
remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar mengajar lainnya.
3) Tugas guru dalam kegiatan proses belajar
mengajar Kegiatan ini meliputi :
- Membuat persiapan/perencanaan pengajaran
- Melaksanakan pengajaran
- Mengevaluasi hasil pengajaran
Kegiatan yang berhubungan dengan
seluruh sivitas akademika. Kegiatan ini merupakan pedoman sinkronisasi segala
kegiatan sekolah, yang kurikuler, ekstrakurikuler, akademik/non
akademik, hari-hari kerja, hari-hari libur, karya
wisata, hari-hari besar nasional/agama.
Untuk menjamin efektifitas pengembangan kurikulum
dalam MBS, kepala sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan
guru-guru harus menjabarkan isi kurikulum secara lebih rinci dan operasional ke
dalam program tahunan, catur wulan dan bulanan. Adapun program mingguan atau satuan pembelajaran, wajib dikembangkan guru
sebelum melakukan kegiatan belajar-mengajar. Berikut diperinci beberapa prinsip
yang harus diperhatikan:
·
Tujuan yang dikehendaki harus jelas, makin operasional tujuan makin mudah
terlihat dan makin tepat program-program yang di kembangkan untuk mencapai
tujuan.
·
Program itu harus sederhana dan fleksibel.
·
Program-program yang disusun dan dikembangkan harus sesuai dengan tujuan
yang telah di tetapkan.
·
Program yang dikembangkan harus menyeluruh dan harus jelas pencapaiannya.
·
Harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.[18]
Contoh visi dalam sekolah “Unggul dan berprestasi dalam IMTAK dan IPTEK
melalui Pendidikan berbasis Teknologi Informasi dan Bahasa Asing menuju Sekolah
Nasional berwawasan global di tahun 2014”
dengan misi sebagai berikut :
- Menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran.
- Menumbuh kembangkan semangat keunggulan kepada para peserta didik sehingga berkemauan kuat untuk terus maju.
- Mengaplikasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi serta Bahasa Asing dalam sistim pembelajaran.
- Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani , Melalui kegiatan olahraga dan keagamaan.
BAB III
PENUTUP
Penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan dan saran-saran berdasarkan
hasil penelitian di lapangan yang telah penulis lakukan melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi tentang Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam Di SMA N I Solok Selatan
A. Kesimpulan.
Ø Pelaksanaan Manajemen
kurikulum dalam meningkatkan mutu pendidikan agama Islam berjalan dengan baik,
ini dapat dilihat bahwa guru-guru pendidikan agama Islam telah melaksanakan
program tahunan, program semester serta program mingguan.
Ø Pelaksanaan Manajemen
kesiswaan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam terlaksana dengan
baik. Ini dapat dilihat bahwa Sekolah ini tidak hanya
bertanggung jawab memberikan berbagai ilmu pengetahuan,
tetapi juga memberikan bimbingan dan pembinaan keagamaan
kepada siswa, baik dalam belajar, emosional, maupun sosial sehingga dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensi masing-masing.
Ø Pelaksanaan Manajemen Tenaga
Kependidikan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam cukup, ini
berarti pimpinan harus lebih meningkatkan
pengelolaan tenaga kependidikan yang tersedia di
sekolah.
Ø Pelaksanaan
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan Agama Islam berjalan dengan baik, ini berarti
dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi,
indah sehingga menciptakan kondisi yang
menyenangkan baik bagi guru maupun siswa
untuk berada di sekolah, baik ketika belajar maupun di luar
belajar, namun demikian dari sisi lain masih terdapat kekurangan terutama
sarana dan prasarana pendidikan agama Islam, oleh karena itu tanggung jawab
yang sangat besar bagi kepala sekolah selaku pimpinan menyampaikan pada
bawahannya untuk dapat melengkapinya agar tujuan pendidikan agama Islam dapat
tercapai dengan baik dan maksimal.
Ø Pelaksanaan Manajemen hubungan
sekolah dan masyarakat dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam berjalan
dengan baik. Hal ini berarti antara sekolah dan masyarakat
memiliki hubungan yang sangat erat dalam
mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara
efektif dan efisien. Rasa tanggung jawab dan partisipasi
masyarakat untuk memajukan sekolah besar sekali.
B. Saran.
Ø Kepada guru pendidikan
agama disarankan untuk lebih memperdalam dan
menguasai konsep manajemen berbasis sekolah dan
harus lebih berkreasi dalam meningkatkan manajemen
kelas.
Ø Kepada
kepala sekolah disarankan untuk lebih memiliki pengetahuan kepemimpinan,
perencanaan dan pandangan yang luas tentang
sekolah dan pendidikan, melakukan fungsinya
sebagai manajer sekolah dalam meningkatkan proses
belajar mengajar, serta melakukan tukar pikiran
dan studi banding antar sekolah untuk
menyerap kiat-kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang
lain.
Ø Kepada sekolah
disarankan untuk mengidentifikasi dan menata
ulang pengadaan sarana prasarana sekolah terutama sarana dan
prasarana pendidikan agama Islam. Sekolah harus lebih
mengoptimalkan bentuk operasional hubungan sekolah dengan
masyarakat di bidang sarana akademik agar
jumlah sarana yang tersedia (alat-alat dan media pengajaran seperti
komputer serta alat dan media pendidikan agama Islam seperti dalam praktek
pelaksanaan haji harus ada sarana dan prasarana yang lengkap tentang
pelaksanaan haji) sesuai dengan kebutuhan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Agam,
Rameli, Menulis Karya Ilmiah, Bandung, Familia, 2009
Bafadal, Ibrahim, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, Jakarta,
PT Bumi Aksara: 2006
Depdiknas, Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta, Dikmenum: 2001
Diding, Nurdin, Manajemen
Pendidikan”, Dalam Ali,M.,Ibrahim,R.,Sukmadinata.N.S.,dan Rasjidin, W
(penyunting) Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.P.225:
2007
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi Dan Implementasi, Bandung, PT Remaja Rosda
Karya: 2009
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung, PT
Remaja Rosdakarya: 2002
Malayu S.P. Hasibuan, ”Manajemen Sumber Daya Manusia”,
Jakarta, Bumi Aksara: 2009
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia: 2002
Siahaan, Amiruddin,
dan Khairuddin W, H. Irwan Nasution, Manajemen
Pendidikan Berbasis Sekolah, Ciputat Press Grup: Quantum Teaching: 2006
Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif
Kualitatif Dan R n D, Bandung, Alfabeta: 2009
Suryosubroto, Manajemen Pendidikan Di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta: 2004
Syafaruddin,
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press: 2005
Widiarti dan Suranto “Konsep Mutu Dalam Manajemen Pendidikan
Vokasi”, Semarang, Sindur Press: 2009
Zainal Ruma’, Fakultas Ekonomi UNM
[1] Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R n D (Bandung:Alfabeta, 2009), h. 13.
[2] Rameli
Agam, Menulis Karya Ilmiah
(Bandung: Familia, 2009), h. 90.
[6]
Malayu S.P. Hasibuan,.”Manajemen Sumber
Daya Manusia”. Jakarta: Bumi Aksara. 2009) h. 1-2
[7] Malayu S.P. Hasibuan, “Manajemen Sumber Daya Manusia”.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009) h.1-2
[8]
Widiarti dan Suranto.“Konsep Mutu Dalam
Manajemen Pendidikan Vokasi”. Semarang: Sindur Press, 2009)
[9]
Diding, Nurdin, “Manajemen Pendidikan”,
Dalam Ali,M.,Ibrahim,R.,Sukmadinata.N.S.,dan Rasjidin, W (penyunting) Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.2007. h.225.
[10]
Amiruddin Siahaan,
Khairuddin W, H. Irwan Nasution, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah,(Ciputat
Press Grup: Quantum Teaching, 2006), Cet ke I, h, 31
[12] Depdiknas,
Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. (Jakarta: Dikmenum, 2001), h. 3
[16] Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar (Jakarta:PT
Bumi Aksara, 2006) hlm. 90-91
[17] E.
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi Dan Implementasi,
(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009), h. 39
[18] E.
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi Dan Implementasi,
(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2009), h. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar