Rabu, 16 Maret 2016

Hifdzullisan



LIDAHMU ADALAH HARIMAUMU

Lidah dalam KBBI merupakan; bagian tubuh dalam mulut yang dapat bergerak-gerak dengan mudah, gunanya untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata. Selain itu, lidah juga  merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada manusia. banyak orang mengatakan bahwa lidah tidak bertulang, maka dari itu banyak sekali manusia yang tidak menjaga lidahnya. Lidah diibaratkan sebagai pisau yang sangat tajam, karena terkadang ucapan/perkataaan dapat menyakiti hati orang lain. maka dari itu Allah menganjurkan kepada kita agar menjaga lidah/lisan, hal ini diperjelas dalam QS. Qaaf;18;

Selain ayat tersebut, juga banyak hadist yang menyinggung masalah lisan/lidah. Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam, beliau bersabda:لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga".
 
salah satu kewajiban muslim terhadap muslim lainya yaitu dengan menjaga lisannya, hal ini diperjelas dalam sabda Nabi Saw:



Diantara hal-hal yang sering dilakukan oleh lidah
1.      Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti’.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih). 
2.      Seringnya Berdusta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berkata, dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.      Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim)

4.      Dengan Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu.” (HR. Bukhari)

Minggu, 06 Maret 2016

TUGAS UAS FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



TUGAS UAS
 FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Di Susun Oleh :
NAMA            : AKHMAD KHOIRI
NPM               : 1522010033
KELAS          : C
DOSEN          :  Prof. Dr. H. MARAGUSTAM SIREGAR, MA
PRODI           : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM




 










PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2015




SOAL NO 1.
Jelaskan pengertian filsafat pendidikan itu?  Kemudian jelaskan perbedaan antara filsafat pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Barat dalam hal: 1. Proses belajar mengajar. 2. Konsep pendidikannya. Dan 3. Tujuan akhir pendidikannya?  Jawaban anda dalam bentuk matrik.
Jawaban:
A.  Pengertian Filsafat Pendidikan
Pendidikan Islam secara bahasa adalah tarbiyah Islamiyah. Sedangkan secara terminologi ada beberapa istilah tentang pendidikan Islam diantaranya : Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu adalah merupakan hasil pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang berasal dari wahyu Ilahi, sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil renungan (pemikiran) yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang bersumber dari wahyu memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung pada kondisi ruang dan waktu. Sebaliknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat tergantung kepada kondisi ruang dan waktu.
Kajian falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat dalam al-Qur’an dan hadits yang telah diterapkan oleh nabi Saw  baik selama periode Makkah maupun selama periode Madinah. Falsafat pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran Islam itu sendiri.[1]


B.  Perbedaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat dalam hal (1) Proses belajar mengajar, (2)  Konsep pendidikannya, (3) Tujuan akhir pendidikannya !
ASPEK ASPEK
PENDIDIKAN ISLAM
PENDIDIKAN BARAT
Proses Belajar Mengajar
Aktivitas belajar-mengajar ialah amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah

Karena sekularistik materialistik, maka motif dan objek belajar-mengajar semata-mata masalah keduniaan

Konsep pendidikan
Islam mengaitkannya dengan
pahala dan dosa karena
kebajikan dan akhlak mulia
merupakan unsur pokok dalam
pendidikan Islam.

Barat pada umumnya tidak mengaitkan pendidikan dengan pahala dan dosa. Ilmu
itu bebas nilai (values free).

Tujuan akhir pendidikan

Terwujudnya insan kamil (manusia sempurna dan paripurna), yang pembentukannya selalu dalam proses sepanjang hidup (has a beginning but not an end).

Hidup sejahtera di dunia secara maksimal baik sebagai warga Negara maupun sebagai warga masyarakat.


SOAL NO 2.
Bertolak dari Q.S Arrum:30 tentang fitrah, Al-A’raf :172 dan al-Syams: 8, aliran filsafat pendidikan Islam tentang konsep dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar terbagi kepada empat. Dua diantaranya ialah (1) Positif-aktif, dan (2) Dualis-aktif. Pertanyaannya adalah: jelaskan (1) Masing-masing karakteristik aliran tersebut, (2) Lengkapi jawaban saudara dengan argumen masing-masing baik secara normative maupun secara logika dan (3) Bagaimana dampaknya terdahadap aplikasi pendidikan Islam?
Jawaban:
A. Empat Aliran Filsafat Pendidikan[2]
1.    Aliran yang berpandangan fatalis-pasif yaitu: mempercayai bahwa setiap individu karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah. Karakter positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
2.    Aliran yang berpandangan netral-pasif  yaitu: anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong.  Manusia berpotensi untuk berkarakter baik dan tidak baik itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua.
3.    Aliran yang berpandangan positif-aktif yaitu: bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga ia menjauh dari sifat bawaannya.
4.    Aliran dualis-aktif  yaitu: manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuatnya, sifat baik dan buruk tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik atau buruk.. Dasar pembentukan karakter adalah nilai baik (disimbolkan sebagai nilai malaikat) atau buruk (disimbolkan sebagai nilai setan). Karakter manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif.  Energi positif  itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai moral yang bersumber dari taghut (setan).[3]
B. Dampak Empat Aliran Filsafat dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam empat  aliran tersebut memberikan dampak yang baik, karena pendidikan karakter atau kepribadian, memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan). Materi pendidikannya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat afektif, tetapi juga berkaitan dengan kognitif dan psikomotor.[4]
a.    Knowing the good: untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.
b.    Feeling the good: konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Disini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi mesin atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
c.    Acting the good: pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

SOAL NO 3.
Dalam penentuan nasib seorang sangat tergantung kepada tiga hal yakni faktor heriditas, faktor lingkungan, dan faktor kehendak bebas manusia atas pertolongan atau hidayah Allah. Jelaskan masing masing faktor dan jelaskan pula hubungan masing-masing faktor sehingga melahirkan sikap dan perbuatan !
Jawaban:
A.      Faktor Heriditas
Hereditas merupakan kecenderungan alami cabang-cabang untuk meniru sumber mulanya dalam komposisi fisik dan psikologi. Ahli hereditas lainnya menggambarkan sebagai penyalinan cabang-cabang dari sumbernya. Islam sangat memperhatikan faktor al-waritsah (hereditas) ini dalam pembentukan kepribadian seseorang dan mengarahkannya kepada hal yang positif, seperti Allah melebihkan keturunan Nabi Ibrahim dan keturunan Imran diatas bumi ini karena hereditas yang baik cenderung meniru dari generasi ke generasi (QS. Ali Imran [3]: 34). [5]
Hadist tentang hereditas:
Artinya: Seleksilah untuk air mani (istri) kamu sekalian. Karena sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan, “ya Tuhanku, jangan engkau biarkan seorang diantara orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi. sesungguhnya jika engkau biarkan mereka tinggal, niscaya menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.
(QS. Nuh [71]:26-27).
Dari berbagai ayat al-Qur’an dan hadist tersebut memberi indikasi kuat bahwa faktor hereditas akan diwarisi/ditiru oleh keturunannya. Ilmu yang membahas tentang hereditas telah menetapkan, bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral (al-khalqiyah), kinestetik (al-jismiyah), maupun intelektual (al-aqliyah), sejak masa kelahirannya. Namun harus diakui pula tidak selama faktor hereditas berjalan secara otomatis.
Hereditas pada individu berupa warisan “specific genes” yang berasal dari kedua orang tuanya. “ genes” ini terhimpun didalam kromosom-kromosom atau “colored bodies”. Kromosom- kromosom baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu berinteraksi membentuk pasangan-pasangan. Dua anggota masing-masing pasangan memiliki bentuk dan fungsi yang sama. Pasangan kromosom dimana dalam masing-masing kromosom terdapat sejumlah genes dan masing-masing genes memiliki sifat tertentu, membentuk persenyawaan genes yang demikian menjalin sifat-sifat genes.[6]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembawaan ialah potensi-potensi yang dibawa setiap individu ketika ia lahir merupakan warisan dari orang tuanya.
Unsur-unsur pembawaan yang berupa potensi-potensi fisik dan mental psikologis itu dalam proses perkembangannya akan berfungsi sebagai faktor dasar atau faktor bahan yang akan mempengaruhi proses perkembangan. Dalam setiap proses perkembangan itu diperlukan bahan dasar sebab tanpa bahan dasar itu maka pertumbuhan fisik atau perkembangan mental anak tidak akan terjadi. Tentunya makin baik potensi kondisi pembawaan sebagai faktor dasar  maka dapat diharapkan akan baik pula perkembangan yang akan terjadi, dan sebaliknya.
 Masing-masing individu lahir ke dunia dengan satu heriditas tertentu. Ini berarti karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau pemindahan cairan-cairan  “germina  “ dari  pihak orang tuanya. Disamping itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya, baik lingkuntgan  pisis, psikologis, maupun lingkungan sosial. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakan hasil interaksi dari dari para heriditas dan lingkungan.
B.       Faktor Lingkungan
Lingkungan atau alam sekitar memiliki peranan penting dalam pendidikan islam. Karena lingkungan merupakan elemen yang signifikan dalam pembentukan personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam rangka umum peradaban. Biasanya individu-individu dimasyarakat mengikuti kebiasaan yang ada disekitarnya dengan sadar atau tidak sadar.
Dengan demikian, lingkungan dapat diartikan secara fisiologis, secara psikologis, dan secara sosial-kultural.
        Secara fisiologis, lingkungan meliputi segala kondisi dan materiil jasmaniah di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem saraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan, makanan, kelenjar-kelenjar indoktrin, sel-sel pertumbuhan dan kesehatan jasmani.
        Secara psikologis, lingkungan mencakup segenap stimulasi yang diterima oleh individu mulai sejak zaman konsesi, kalahiran sampai matinya. Stimulasi ini misalnya berupa: sifat-sifat”genes”, interaksi “genes”, selera, keinginan, perasaan, tujuan-tujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi, dan kapasitas intelektual.
        Sevara sosio-kultural, lingkungan mencakup segenap stimulasi, interaksi dan kondisi eksternaldalam hubunganya dalam perlakuan ataupun karya orang lain. Pola hidup keluarga,pergaulan, kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, belajar, pendidikan pengajaran, bimbingan dan penyuluhan, adalah termasuk sebagai lingkungan ini.[7]
Lingkungan sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.Lingkungan adalah keluarga yang mengasuh dan membesarkan anak, sekolahtempat mendidik, masyarakat tempat anak bergaul juga bermain sehari-hari dan keadaan alam sekitar dengan iklimnya, flora dan fauna.
        Besar kecilnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembanganya bergantung kepada keadaan lingkungan anak itu sendiri serta jasmani dan rohaninya.[8]
C.      Faktor Kehendak bebas Manusia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,1990) kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, seperti lepas sama sekali; lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut; tidak dikenakan hukuman; tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan merdeka.
Kata kebebasan dalam Islam diungkapkan dengan dua istilah. Pertama, dengan istilah hurriyah. Dalam al-Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan Pertama, kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat adh-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat an-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga: ath-thabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat; as-siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan perundang-undangan; ad-diniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap berbagai mazhab keagamaan.
Kedua, kebebasan diungkapkan dengan istilah ikhtiyar. Ikhtiyar sebagaimana yang dipakai dalam teologi Islam, tidaklah sama dengan ide modern mengenai kebebasan (dalam arti freedom/liberty). Sebab, akar kata ikhtiyar adalah khair atau baik, yang berarti memilih sesuatu yang terbaik. Karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, maka sebenarnya itu bukanlah pilihan, melainkan kezaliman. Memilih sesuatu yang terbaik adalah kebebasan yang sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya, memilih sesuatu yang buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek tercela nafsu hewani.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan Allah dengan dibekali kemampuan, bakat, persiapan, persediaan energi dan ilmu. Semua karunia yang agung itu dapat digunakan untuk menciptkan kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia, juga dapat digunakan untuk menimbulkan keburukan dan kerusakan. Pada diri manusia terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan, kekuatan dan dorongan untuk berbuat baik dan dorongan untuk berbuat jahat. Namun demikian dorongan untuk berbuat baik senantiasa lebih dominan dari keinginan untuk berbuat keburukan. Setiap diri manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, pengaruh lingkungan dan kecenderungan yang ada pada dirinya serta usaha yang ia lakukan akan membuat seseorang menjadi berguna bagi orang lain atau mencelakakan selamanya.
Dalam salah satu sabdanya nabi menjelaskan tentang pembentukan watak pada diri seorang manusia, bahwa manusia selain dibentuk oleh dirinya sendiri juga dibentuk oleh lingkungannya dimana ia bergaul dan mengadakan interaksi sosial. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah (termasuk lingkungannya) yang membuat ia menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. (H.R. Thabrani). Dalam keterangan yang lain disebutkan bahwa manusia dilahirkan dari lingkungan bagaikan hasil tambang, emas atau perak. Apabila lingkungan keluarganya baik seperti tambang emas maka ia akan melahirkan emas. Sebaliknya apabila lingkungan keluarganya tidak begitu baik, diibaratkan seperti tambang perak atau tembaga maka akan membentuk anak yang berkualitas seperti perak atau tembaga. Nabi Jelaskan : “Manusia itu bagaikan barang tambang emas perak, orang yang terbaik diantara mereka adalah yang terbaik di masa jahiliah dan yang terbaik di masa Islam apabila mereka jenius”. (Mutafaq Alaih).
Allah SWT membekali manusia dengan jiwa yang dapat digunakan untuk menyempurnakan dirinya, jiwa itu semula diberikan kepada manusia dalam keadaan sama, rata, lurus, jujur, suci dan bersih. Jiwa itu bisa menjadi kotor atau tetap dalam kesuciannya, tergantung dari seseorang bagaimana ia menjaga dan memeliharanya.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaannya”. (Q.S. al-Syams : 7-8).
Dengan potensi akal dan pikirannya manusia dapat membedakan antara yang baik dan buruk, baik yang berhubungan dengan aqidah, kepercayaan, agama, juga yang berkaitan dengan perbuatan dan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan potensi itu pula manusia dapat mengatur hubungan dengan sesamanya dan hubungan dengan alam sekitarnya, yang berkaitan dengan hubungan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pertahanan dan sebagainya. Karena itu selama manusia masih memiliki akal pikiran, ia pasti dapat membedakan yang terpuji dan tercela dan berbuat apa saja yang ia sukai, juga mengetahui jalan mana yang akan ditempuhnya. Semua itu tergambar jelas di depan mata hatinya, manusia memiliki kemerdekaan untuk berkehendak dan mempunyai hak pilih dalam menentukan sikap dan perbuatannya. Apabila ia memilih yang baik, kebaikan itu bagi dirinya sendiri dan jika memilih yang buruk, maka keburukan itu akan menimpa dirinya pula.
Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada manusia jalan yang benar yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Manusia yang menerima petunjuk itu dengan patuh dan taat dan ada juga yang mengingkarinya. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus ; ada yang bersyukur dan adapula yang kafir”. (Q.S. al-Insan: 2-3). Berbahagialah mereka yang mengikuti petunjuk-nya dan celakalah mereka yang mengingkari-Nya.
Manusia diberikan Allah sesuatu kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, sesuai dengan batas-batas yang ditentukan. “Siapa yang berbuat kebajikan maka kebajikan itu untuk dirinya dan siapa yang berbuat kejahatan maka kejahatan itu akan menimpa dirinya pula dan Tuhan sama sekali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Fushshilat: 46).
Dengan adanya kehendak bebas manusia, akan mampu mengalahkan pengaruh faktor al-waritsah dan lingkungan atas pertolongan Allah. Seperti anak Nabi Nuh, yang bernama Kan’an, ia kafir terhadap risalah bapaknya, sekalipun Nabi Nuh adalah manusia pilihan Allah dan menjadi rasul-Nya. (QS. Hud: 43).
D.      Pengaruh hereditas, lingkungan dan kehendak bebas manusia dalam membentuk kepribadian
Dalam hubungan ini ada tiga teori  yang terkenal yang membahas masalah pengaruh hereditas (pembawaan) dan lingkungan dalam perkembangan manusia.
Pertama, aliran atau teori “nativisme” dengan tokoh utamanya adalah Schopenhauer dan tokoh lainnya yang termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, Lombroso. Menurut pendapat ini yang paling menyatakan bahwa perkembangan manusia itu sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor pembawaan atau faktor-faktor yang dibawa sejak lahir.
Para ahli yang berpendirian nativis biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau orang tuanya pemusik kemungkinan nanti anaknya menjadi pemusik., kalau orang tuanya pelukis kemungkinan anaknya nanti akan jadi pelukis,demikian juga kalau orang tuanya ahli matematika maka kemungkinan anaknya jadi ahli matematika. Jadi kondisi keahlian dan kemampuan orang tuanya juga diwariskan ke anaknya.
Dengan demikian faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam ilmu pendidikan aliran ini dikenal sebagai  aliran “Pedagogik Pesimisme” yaitu pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan anak  ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh penndidikan.
Kedua, aliran “empirisme”. Paham empirisme ini tokoh utamanya adalah John Locke. Teori ini secara ekstrem menekankan kepada pengaruh lingkungan. Menurut teori ini lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseoarang. Baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan.
Jadi teori ini menganggap faktor pembawaan tidak berperan sama sekali terhadap perkembangan manusia. Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang maha kuasa dalam menentukan perkembangan pribadi seseorang. Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan aliran ini disebut dengan aliran pendidikan “ Pedagogik Optimisme” artinya pendidikan maha kuasa untuk membentuk atau mengembangkan pribadi seseorang.
Permasalahanya adalah apakah pendidikan atau lingkungan dapat dengan sepenuhnya mempengaruhi perkembangan anak. Sebagai contoh di dalam sebuah sekolah yang sama, di kelas yang sama, dan guru yang sama, kita menemukan tingkat pemahaman anak terhadap pelajaran itu berbeda-beda. Ada anak yang cepat paham, ada anak yang lambat dalam pemahamannya, bahkan ada juga anak yang  sulit sekali dalam memahami pelajaran.
Hal ini menunjukan bahwa faktor lingkungan bukan satu-satunya yang mempengaruhi dalam perkembangan anak.
Ketiga, teori “konvergensi” yaitu teori yang menjembatani atau menengahi kedua teori/paham sebelumnya bersifat ekstrem yaitu teori nativisme dan teori empirisme.
Sesuai dengan namanya konvergensi yang artinya perpaduan, maka teori ini tidak memihak bahkan memadukan  pengaruh kedua unsur  pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan. Pada teori ini baik unsur pembawaan maupun unsur linkungan keduanya merupakan sama-sama faktor yang dominan pengaruhnya bagi peerkembangan seseorang. Misalnya seseorang yang berbakat musik tidak akan berkembang menjadi seorang ahli musik apabila tidak ditunjang oleh lingkungan atau pendidikan yang memadai.
Teori yang ketiga inilah yang  sampai sekarang masih teruji dan dipertahankan kebenaran pendapatnya. Teori menggambarkan bagaimana hubungan yang berimbang antara faktor warisan orang tua dengan lingkungan dalam mempengaruhi perkembagan seseorang. Ada suatu keselarasan antara bakat dan pendidikan. Sehebat apapun bakat seseorang tanpa adanya latihan tidak akan berkembang, begitupun sebaliknya.
Islam telah mengenal aspek paling signifikan untuk memunculkan reaksi-reaksi individu dalam mendapatkan berbagai kebiasaan dan moralitas. Aspek ini adalah persahabatan yang merupakan unsur pendidikan paling kuat yang mentransfer sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan individu. Menurut para pakar sosiologi mengatakan, “kehidupan sosial ialah kehidupan kehidupan pengaruh dan persepsi. Setiap individu mempengaruhi serta dipengaruhi lingkungan sekitar.[9]
Faktor kehendak bebas manusia atas petolongan Allah merupakan faktor yang dibentuk karena ada pertolongan dari Allah artinya manusia bisa menjadi baik dan tidak baik tergantung pada pertolongan dari Allah, karena dengan kehendak bebas manusia dan kemampuannya sesuai dengan batas-batas kemanusiaanya akan dapat mengalahkan dua faktor tersebut atas pertolongan Allah (bi ma'unatillah). Apa yang diketahui oleh manusia tentang hukum-hukum alam (sunnatullah) termasuk hereditas dan alam sifatnya tidak pasti, sesuatu yang bersifat absolut dan pasti hanyalah kebenaran yang dating dari Allah.

SOAL NO 4.
Bagaimana hubungan antara pendidikan nasional dan pendidikan Islam? Apakah hubungannya bersifat simbiosis (saling membutuhkan) dan/atau integral (menyatu) atau sekuler (tidak ada hubungannya). Jelaskan sesuai dengan pilihan anda. Jawaban saudara disertai contoh-contoh dan didukung oleh wawancara dengan pakar pendidikan.
Jawaban:
Hubungan pendidikan Islam dan pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini dikaitkan dengan konsep penyusunan sistem pendidikan nasional tersebut. Suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan elcsistensi bangsa Indonesia khususnya dalam hubungan masa lalu, masa kini dan kemungkinan perkembangan masa depan.
Pendidikan Islam dan pendidikan nasional terdapat 3 segi yang dapat ditelusuri Pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan islam dan kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia. Ketiga, dari segi kedudukan pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam merupakan suatu Lembaga sesuai dengan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990, No. 60 tahun 1999 dan No. 73 tahun 1991. Pendidikan keagamaan diselenggarakan pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan dimana Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat serta pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal, pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman.  
Pendidikan Islam juga Sebagai Mata Pelajaran dimana jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan pancasila, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Dalam pasal 3 isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran (PP 28 Bab. VII pasal 14 ayat 2) meliputi
  1. pendidikan pancasila
  2. pendidikan agama
  3. pendidikan kewarganegaraan
  4. bahsa indonesia
  5. membaca dan menulis
  6. matematika (termasuk berhitung)
  7. pengantar sains dan teknologi
  8. ilmu bumi
  9. kerajinan tangan dan kesenian
  10. pendidikan jasmani dan kesehatan
  11. menggambar
  12. bahasa inggris
Pada PP 29 tahun 1990 Bab VIII pasal (15) ayat (2) isi kurikulum pendidikan menengah wajib memuat bahan kajian dan mata pelajaran tentang:
  1. pendidikan pancasila
  2. pendidikan agama
  3. pendidikan kewarganegaraan
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 dicantumkan tentang beberapa hal yang berkenaan dengan pendidikan agama. Pasal 37 (1): kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
  1. pendidikan agama
  2. pendidikan kewarganegaraan
  3. pendidikan bahasa
  4. matematika
  5. ilmu pengetahuan alam
  6. ilmu pengetahuan sosial
  7. seni dan budaya
  8. pendidikan jasmani dan olahraga
  9. keterampilan / kejuruan
  10. muatan lokal
  11. Selain itu kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
  12. pendidikan agama
  13. pendidikan kewarganegaraan
  14. bahasa
Ada beberapa pokok-pokok pikiran nilai-nilai yang terkandung dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003, yaitu:
  1. pendidikan nasional adalah pelaksanaan pembangaunan nasional dibidang pendidikan
  2. asas dan dasar pendidikan berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945
  3. tujuan pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik
  4. pendidikan nasional bersifat demokratis dan humanis yakni memberikan kesempatan kepada setiap negara untuk memperoleh pendidikan
  5. memberikan kesempatan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik atau mental
  6. menekankan pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan seumur hidup
  7. pendidikan keagamaan merupakan satu jenis pendidikan yang khusus mengajarkan agama tertentu.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa suatu sistem pendidikan nasional tidaklah berlaku umum. Maksudnya adalah pola penyusunan sistem pendidikan nasional harus berdasarkan keberadaan umat manusia dan latar belakang sejarah bangsa masa lalu, sekarang dan masa depan.
Dalam laporan komisi pembaharuan pendidikan nasional dikatakan bahwa pengembangan bangsa merupakan kriteria dasar dalam membangun suatu sistem pendidikan nasional dengan mewujudkan keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara pengembangan kwantitatif dan pengembangan kwalitatif serta antara aspek lahiriah dan aspek rohaniah.
Dari keterangan tersebut dikatakan bahwa penyusunan sistem pendidikan nasional harus berdasarkan dan pertimbangan faktor bangsa dan masyarakat Indonesia serta aspek lahiriah dan rohaniah bangsa Indoneisa, sebab bangsa Indonesia telah menjalani penindasan dan perjuangan melawan penjajah, tentu dalam hal ini ada keterkaitan dengan masa awal perkembangan dan pendidikan Islam di tanah air sampai sekarang ini.



SOAL NO 5.
 Para filosuf sangat ketat membuat kriteria seorang ‘alim/guru/pendidik/dosen dalam pendidikan islam. Paling tidak ada empat argumen yang melatar belakanginya. Jelaskan empat alasan tersebut?
Jawaban:
Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru biasa disebut dengan beberapa sebutan, diantaranya:
Ustadz, kata ini biasa digunakan untuk memanggil seorang profesor, hal ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan profesional, apabila pada dirinya terlihat sikap dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya, dan selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hiduo pada zamannya di masa depan.[10]
Mu’alim, kata ini berasal dari kata “’ilm” yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan dimensi teoritis dan praktisnya dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkanya. Allah mengutus  rasul-Nya antara lain agar beliau mengajarkan kandungan al-kitab dan al-hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudarat. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al-hikmah atau kebijakan dan kemahiran  melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya yang dapat mendatangkan manfaat.
Imam al-Ghazali memiliki empat syarat utama bagi guru yakni cerdas, sempurna akalnya, baik akhlaqnya dan kuat fisiknya. Selain keempat syarat utama ini, al-Ghazali menambahkan delapan kriteria. Pertama, memiliki sifat kasih sayang. Kedua, tidak menuntut upah atas ilmu yang diajarkannya (terkecuali untuk menutup ongkos yang harus dia keluarkan, seperti transportasi, dsb). Ketiga, bisa mengarahkan murid-muridnya. Keempat, menggunakan cara yang simpatik. Kelima, bisa menjadi panutan. Keenam, memahami kemampuan individu tiap murid yang bisa berbeda satu sama lain. Ketujuh, memahami perkembangan jiwa murid-muridnya. Kedelapan, tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diajarkan.
Senada dengan Imam al-Ghazali, Ibn Jamaah, seorang ulama besar dari Mesir, memiliki enam kriteria bagi guru yang baik. Kriteria pertama adalah menjaga akhlaq. Kedua, tidak menjadikan profesi guru untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga, mengetahui situasi yang terjadi pada lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Keempat, menunjukkan kasih sayang dan kesabaran. Kelima, adil dalam memperlakukan anak didik. Keenam, berupaya maksimal dalam menolong anak didiknya mencapai pemahaman yang benar.
Demikian halnya dengan Ibn Taimiyah. Beliau menetapkan empat syarat bagi guru. Pertama, guru merupakan penerus nabi dalam menyampaikan ilmu-ilmu kebenaran. Oleh karenanya, guru wajib senantiasa mencontoh perjalanan hidup dan akhlaq dari Rasulullah Muhammad SAW. Kedua, guru harus bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya. Ketiga, serius dan tidak sembrono dalam mengajar. Keempat, berusaha untuk terus menambah keilmuannya.
Ibn Miskawaih bahkan menempatkan posisi guru di atas orang tua lantaran keutamaan yang (seharusnya) dimiliki seorang guru. Menurut beliau, seorang guru lebih banyak berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, yakni keridloan Allah SWT di dunia dan pahala di akhirat. Oleh karena itulah, seorang guru sejati adalah yang bisa senantiasa menunjukkan kepribadian yang mencontoh kepribadian nabi. Selain guru sejati, Ibn Miskawaih menetapkan pula kriteria “guru biasa.” Guru biasa ini haruslah memenuhi persyaratan: (1) bisa dipercaya; (2) pandai; (3) dicintai; (4) sejarah hidupnya tidak tercemar dalam masyarakat; (5) bisa menjadi panutan; (6) akhlaqnya lebih mulia daripada murid-muridnya.
Ketatnya kriteria guru oleh filosof muslim adalah disebabkan karena :
1.      Guru adalah pewaris para nabi.
Al-Ghazali dalam bukunya Ihya ’Ulumuddin menempatkan pendidik pada kedudukan yang amat tinggi, kedudukan langsung setelah para nabi. Hadis Nabi Muhammad saw. al-ulama wa ratsah al-anbiyaa (ulama adalah pewaris nabi), ulama dalam ungkapan hadis tersebut termasuk para pendidik, karena pendidik juga menyampaikan risalah nabi Muhammad saw.
2.      Kedudukan guru amat tinggi dalam Islam
Orang yang berilmu atau ‘aalim, menurut Ahmad Tafsir (2002: 76), merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan; pengetahuan didapat dan diperoleh dari proses pembelajaran, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru.
Ahmad Tafsir lebih jauh menjelaskan umat Islam amat menghargai pendidik, disebabkan oleh pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber pada Tuhan. Ilmu datang dari Tuhan; guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.
3.      Guru mengemban misi penting menanamkan aqidah tauhid
Sebagai pendidik dan Rasul, misi kependidikan pertama Muhammad saw adalah menanamkan aqidah yang benar yakni aqidah tauhid. Ketika Nabi Muhammad di Mekkah, misi utama beliau adalah membangun masyarakat yang bertauhid, meletakkan dasar-dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Ketika Nabi di Medinah, beliau melaksanakan fungsi sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial politik, masyarakat politik-keagamaan Islam Madinah. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. sendiri mengidentifikasikan pesan dakwahnya sebagai pendidik atau pengajar (mu’allim). (Azyumardi Azra, 2000: 55-56) Oleh karena itu guru juga tentunya mengemban misi penting tersebut.
4.      Guru menempati posisi yang kuat dalam membentuk pribadi peseta didik
Al-Hasyimi (2001: 166) mengibaratkan bahwa pendidik merupakan faktor yang asasi dalam hidup manusia dan ia menempati posisi yang kuat dengan pengaruhnya dalam membentuk pribadi individu, di mana pengaruh-pengaruhnya itu berkelanjutan sepanjang hidupnya. Keberadaan pendidik sebagai yang asasi dalam hidup manusia, karena ia dapat membantu peserta didik atas perkembangan dari makhluk hidup yang berjisim saja menuju manusia yang memiliki kepribadian sebagaimana juga akan membantunya atas pertumbuhan yang sempurna sebagai manusia.









DAFTAR PUSTAKA
Bakran, Hamdan, Prophetic Intelligence,  2007: 648
Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan  pemikirannya; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Dalyono M., Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2007)
Siregar Maragustam, Pemikiran Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li Al-Muta’allim tentang Pendidikan Islam (Telaah dalam Perpektif Filsafat  Pendidikan)” http://maragustamsiregar.wordpress.com/ 8 Juni 2010
--------------------------, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010
--------------------------, Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani (Yogyakarta: Datamedia, 2007
Tobroni, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam, dalam website http://tobroni.staff.umm.ac.id/, 24 November 2010
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Malang: Bina Aksara, 1984
            hereditas-dan-lingkungan.html.



[1] Jalaludin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan pemikirannya; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994. Hal. 3-4.

[2] Maragustam Siregar, Pemikiran Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li Al-Muta’allim tentang Pendidikan Islam ( Telaah dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)” http://maragustamsiregar.wordpress.com/ 8 Juni 2010
[3] Prof. Dr. Tobroni, M.Si. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif  Islam” dalam website http://tobroni.staff.umm.ac.id/, 24 November 2010
[4] Maragustam Siregar. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010. Hlm. 126-127
[5] Maragustam, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna  (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010) hlm. 78
[6] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan (Malang: Bina Aksara, 1984)hlm. 80-81
[7] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) hlm. 129-130
[8] hereditas-dan-lingkungan.html, diunduh selasa 16-10-2012, 14:20
[9] Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani (Yogyakarta: Datamedia, 2007) hlm. 65
[10] Hamdan Bakran, Prophetic Intelligence,  2007: 648